Kemerdekaan
yang diraih pada 17 Agustus 1945 silam telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah
entitas baru, yakni negara. Kemerdekaan ini juga telah membawa suatu
konsekuensi logis untuk mampu mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak
asing. Hal tersebut tidak berarti bahwa Indonesia harus bersikap eksklusif dan
menutup diri dari pergaulan internasional. Sebaliknya, Indonesia dituntut untuk
mampu menjalin interaksi dengan negara-negara lain maupun berbagai komunitas
internasional yang ada secara baik. Interaksi tersebut dimaksudkan untuk
menciptakan kerjasama yang konstruktif sehingga menghasilkan suatu manfaat bagi
pemenuhan national interest. Berkaitan dengan hal ini maka diperlukan
sebuah perangkat bernama ‘politik luar negeri’-selanjutnya disebut polugri,
yang berfungsi sebagai grand desain arah dari kebijakan luar negeri
setiap negara dalam melakukan kerjasama satu sama lain maupun dengan
aktor-aktor internasional lainnya.
Dalam
pidatonya di Universitas Udayana pada tahun 2008 silam, mantan Menteri Luar
Negeri RI Dr. N. Hassan Wirajuda menyatakan bahwa polugri pada hakekatnya
adalah semua aktifitas yang dilakukan oleh suatu negara dalam berhubungan
dengan negara lain atau aktor internasional lainnya guna memproyeksikan
kepentingan nasional dan nilai-nilai dasar yang dianut suatu negara. Segala
aktifitas tersebut kemudian direalisasikan dalam sebuah kebijakan luar negeri
mengenai isu-isu tertentu. Sejalan dengan hal ini, menurut Jack S. Plano,
kebijakan negara baik domestik maupun internasional selalu didasarkan pada
usaha memelihara dan mewakili national interest. Menurut Henry
Kissinger, polugri sejatinya merupakan kelanjutan dari politik domestik. Dengan
kata lain, polugri merupakan pandangan politik domestik dalam
menginterpretasikan situasi dan keadaan perpolitikan internasional yang sedang
terjadi.
Pelaksanaan
polugri Indonesia didasarkan oleh dua landasan pokok, yakni Landasan Idiil Pancasila
dan Landasan Konstitusional berupa Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebagai
landasan idiil sekaligus dasar negara, Pancasila berperan penting dalam
menjiwai segenap arah polugri Indonesia. Hal itu termaktub dalam Sila kedua di
dalam Pancasila, yakni “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” yang merupakan cara
pandang bangsa Indonesia khususnya dalam pergaulan antar bangsa. Polugri
Indonesia yang dijiwai oleh Pancasila ini kemudian dijelaskan secara lebih
eksplisit di dalam UUD 1945, khususnya pada Pembukaan UUD 1945 alinea I dan IV.
Pada alinea I disebutkan bahwa “…kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan…” Kemudian lebih jauh disebutkan pada
alinea IV bahwa “…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Kedua alinea di atas secara
jelas menjelaskan mengenai maksud dan tujuan dari polugri Indonesia sebagai sebuah
negara merdeka.
Kedua
landasan yang mendasari pelaksanaan polugri Indonesia tersebut kemudian
menemukan bentuk nyatanya dalam sebuah prinsip bernama “bebas aktif”. Prinsip
ini pertama kali dikemukakan oleh Mohammad Hatta secara tersirat pada tahun
1948 dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung Diantara Dua Karang” di hadapan
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Menurut Hatta, ‘bebas’ memiliki
arti mampu menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun.
Sedangkan ‘aktif’ memiliki arti menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan
segala bangsa. Lebih lanjut, menurut Mochtar Kusumaatmadja, prinsip ‘bebas’
memiliki arti bahwa Indonesia tidak
memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Sedangkan ‘aktif’,
berarti bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia
tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasional, melainkan
bersifat aktif. Prinsip ini kemudian menjadi pedoman
baku bagi pelaksanaan polugri Indonesia.
Prinsip
“bebas aktif” ini sangatlah tepat dalam merespon situasi politik dunia saat itu
dimana dunia pasca Pasca Perang Dunia II diwarnai oleh bipolaritas antara Blok
Barat (kapitalisme) dan Blok Timur (komunisme). Sebagai negara yang belum lama
merasakan nikmatnya kemerdekaan, Indonesia tidak ingin masuk ke dalam salah
satu dari kedua blok yang merepresentasikan kepentingan masing-masing tersebut.
Prinsip “bebas aktif” yang sesungguhnya dijiwai oleh Pancasila ini telah
berperan besar dalam menentukan posisi Indonesia dalam kancah politik
internasional. Pancasila tidaklah sama dengan paham kapitalisme yang dianut
Blok Barat dimana nilai-nilai individualism dan kebebasan menjadi episentrum
pemahamannya. Namun demikian, Pancasila juga tidak serta-merta identik dengan
komunisme dimana lebih mementingkan kolektifitas dengan mengeliminasi hak-hak
individu secara keseluruhan. Pancasila merupakan sesuatu yang khas dan
merupakan representasi kepribadian bangsa Indonesia yang luhur sehingga hal ini
mengilhami pengambilan keputusan untuk tidak memihak kepada salah satu blok
karena kedua paham mainstream tersebut dirasakan tidak sesuai kepribadian
bangsa.
Namun
demikian, netralitas ini tidak serta-merta membuat Indonesia berpangku tangan
dan tidak mengambil peranan aktif dalam upaya mewujudkan tatanan dunia yang
lebih baik. Sebaliknya, Indonesia justru mampu memainkan peranannya dengan
menjadi inisiator diselenggarakannya Konferesi Asia Afrika (KAA) pada tahun
1955 di Bandung, Jawa Barat. Penyelenggaraan KAA yang hampir seluruh pesertanya
merupakan negara-negara baru merdeka ini merupakan bentuk nyata realisasi
tujuan polugri Indonesia yang mendukung kemerdekaan serta menolak penjajahan di
muka bumi. Disini dapat kita cermati bahwa tidak memihaknya Indonesia dalam
blok-blok yang ada menunjukkan bahwa Indonesia ingin tetap menjadi subjek dan
bukan objek di dalam tatanan sistem internasional yang berkembang.
Penerapan
prinsip “bebas aktif” ini dijalankan secara dinamis tergantung periode
pemerintahan yang berkuasa. Dinamisasi paling mencolok dalam penerapan prinsip
ini dapat dilihat pada dua periode pemerintahan yang berbeda, yakni Orde Lama
dan Orde Baru. Keduanya hidup dalam masa dimana tatanan sistem internasional
diwarnai oleh bipolaritas akibat Cold War yang terjadi, namun keduanya
memiliki cara yang berbeda dalam merespon situasi tersebut.
Pada
masa Orde Lama (1945-1965), polugri “bebas aktif” dilakukan dengan jalan revolusioner.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang cukup keras,
seperti menolak adanya negara Malaysia, keluarnya Indonesia dari keanggotaan Persatuan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada 7 Januari 1965 serta menolak tawaran bantuan dari Barat.
Pemerintah menganggap ketiga hal tersebut merupakan alat imperialism yang akan
mengancam kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Kebijakan ini
mencerminkan bahwa polugri yang dilaksanakan pemerintah pada saat itu
terkonsentrasi pada aspek-aspek yang bersifat politik dan pemagaran kedaulatan
dalam arti sebenarnya.
Sebaliknya,
kebijakan yang lebih akomodatif dari penerapan prinsip “bebas aktif” ini dapat
kita lihat pada masa Orde Baru (1966-1998). Hal ini dapat dilihat dalam
beberapa kebijakan, diantaranya kembalinya Indonesia di dalam keanggotaan PBB
pada 28 Desember 1966 serta lebih terbuka terhadap kerjasama dengan berbagai pihak,
khususnya Barat. Kerjasama yang dibangun menitikberatkan pada upaya pembangunan
ekonomi Indonesia yang dirasa sangat penting. Pada masa ini, polugri Indonesia
difokuskan untuk perbaikan perekonomian nasional yang pada masa sebelumnya
dirasa cukup ditinggalkan. Salah satu hasilnya ialah terselenggaranya Asia
Pacific Economic Forum (APEC) tahun 1993 di Bogor, Jawa Barat. Perhelatan
yang bertujuan untuk peningkatan kerjasama ekonomi dan investasi ini kemudian
menghasilkan “Bogor Goals” sebagai kesepakatan bersama.
Penerapan
prinsip polugri “bebas aktif” yang dinamis juga dapat ditemui pada masa pasca
Orde Baru, yakni masa Reformasi (1998-sekarang). Berakhirnya Cold War
pada awal dekade 1990-an juga turut membawa dampak pada perubahan tatanan
internasional. Pola bipolarisme yang sebelumnya terbentuk pada masa Cold War
telah berubah wajah menjadi multipolarisme. Sejalan dengan itu, terdapat sebuah
isu baru yang hampir selalu menjadi trending topic di seluruh belahan
dunia tidak terkecuali Indonesia, yakni demokratisasi. Seiring dengan mulai
terbangunnya kepercayaan akan demokrasi pada masa reformasi ini, maka para
perumus kebijakan di dalam negeri pun mengarahkan segenap arah polugri kita
dengan maksud memperkuat peranan Indonesia sebagai negara demokrasi di mata
dunia internasional. Sebagai realisasinya, sejak tahun 2008 Indonesia berhasil
melaksanakan sebuah pertemuan bertajuk “Bali Democracy Forum” yang telah
menjadi agenda tahunan hingga kini. Forum ini berfokus pada kerjasama dalam
pengembangan serta penguatan demokrasi negara-negara di kawasan Asia.
Penguatan
kerjasama dalam aspek demokrasi ini juga tetap diiringi dengan penguatan
kerjasama di bidang lain, utamanya ekonomi. Multipolarisme telah membuat setiap
negara saling terhubung (interconnected) satu sama lain sehingga
menciptakan suatu interdependensi di bidang perekonomian. Semakin berkembangnya
liberalisasi perekonomian dan perdagangan membuat pemerintah harus mencarikan
jalan terbaik agar tidak menerima mentah-mentah liberalisasi ini yang akan mengakibatkan
tergerusnya Indonesia dalam arus besar ini tanpa meraih national interest yang
diinginkan.
Sejatinya, beragam perubahan situasi yang
terjadi pada sistem internasional telah mampu dijawab melalui
kebijakan-kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah di berbagai
periode dengan baik sehingga tetap menempatkan Indonesia sebagai aktor penting
dalam pergaulan internasional. Hal ini tidak terlepas dari landasan yang
menjadi pijakan utama pengambilan kebijakan tersebut, yakni Pancasila.
Pancasila memiliki tempat yang sangat penting dalam menjaga agar arah polugri
Indonesia tetap on the track sesuai dengan cita-cita dan tujuan
nasional. Tetap eksisnya peranan Indonesia di kancah internasional hingga kini
merupakan bukti nyata bahwa Pancasila mampu melewati segala rintangan yang
dihasilkan dari beragam situasi internasional yang ada. Pancasila bukanlah
sesuatu yang eksklusif dan kaku untuk diterapkan. Sebaliknya, Pancasila
bersifat dinamis dan dapat diterapkan dalam menghadapi tantangan global yang ada.
Sudah selayaknya, segenap rakyat Indonesia menjadikan Pancasila sebagai
landasan dalam hidup berbangsa dan bernegara sehingga kita tetap dapat
memperlihatkan ciri khas bangsa dengan bangga kepada seluruh masyarakat dunia.
Seperti sebuah kalimat, “think globally
No comments:
Post a Comment