Sunday, 16 September 2012

Pengaruh Pancasila dalam Arah Politik Luar Negeri Indonesia


Kemerdekaan yang diraih pada 17 Agustus 1945 silam telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah entitas baru, yakni negara. Kemerdekaan ini juga telah membawa suatu konsekuensi logis untuk mampu mengatur diri sendiri tanpa campur tangan pihak asing. Hal tersebut tidak berarti bahwa Indonesia harus bersikap eksklusif dan menutup diri dari pergaulan internasional. Sebaliknya, Indonesia dituntut untuk mampu menjalin interaksi dengan negara-negara lain maupun berbagai komunitas internasional yang ada secara baik. Interaksi tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kerjasama yang konstruktif sehingga menghasilkan suatu manfaat bagi pemenuhan national interest. Berkaitan dengan hal ini maka diperlukan sebuah perangkat bernama ‘politik luar negeri’-selanjutnya disebut polugri, yang berfungsi sebagai grand desain arah dari kebijakan luar negeri setiap negara dalam melakukan kerjasama satu sama lain maupun dengan aktor-aktor internasional lainnya.
Dalam pidatonya di Universitas Udayana pada tahun 2008 silam, mantan Menteri Luar Negeri RI Dr. N. Hassan Wirajuda menyatakan bahwa polugri pada hakekatnya adalah semua aktifitas yang dilakukan oleh suatu negara dalam berhubungan dengan negara lain atau aktor internasional lainnya guna memproyeksikan kepentingan nasional dan nilai-nilai dasar yang dianut suatu negara.  Segala aktifitas tersebut kemudian direalisasikan dalam sebuah kebijakan luar negeri mengenai isu-isu tertentu. Sejalan dengan hal ini, menurut Jack S. Plano, kebijakan negara baik domestik maupun internasional selalu didasarkan pada usaha memelihara dan mewakili national interest. Menurut Henry Kissinger, polugri sejatinya merupakan kelanjutan dari politik domestik. Dengan kata lain, polugri merupakan pandangan politik domestik dalam menginterpretasikan situasi dan keadaan perpolitikan internasional yang sedang terjadi.
Pelaksanaan polugri Indonesia didasarkan oleh dua landasan pokok, yakni Landasan Idiil Pancasila dan Landasan Konstitusional berupa Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebagai landasan idiil sekaligus dasar negara, Pancasila berperan penting dalam menjiwai segenap arah polugri Indonesia. Hal itu termaktub dalam Sila kedua di dalam Pancasila, yakni “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” yang merupakan cara pandang bangsa Indonesia khususnya dalam pergaulan antar bangsa. Polugri Indonesia yang dijiwai oleh Pancasila ini kemudian dijelaskan secara lebih eksplisit di dalam UUD 1945, khususnya pada Pembukaan UUD 1945 alinea I dan IV. Pada alinea I disebutkan bahwa “…kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan…” Kemudian lebih jauh disebutkan pada alinea IV bahwa “…dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Kedua alinea di atas secara jelas menjelaskan mengenai maksud dan tujuan dari polugri Indonesia sebagai sebuah negara merdeka.
Kedua landasan yang mendasari pelaksanaan polugri Indonesia tersebut kemudian menemukan bentuk nyatanya dalam sebuah prinsip bernama “bebas aktif”. Prinsip ini pertama kali dikemukakan oleh Mohammad Hatta secara tersirat pada tahun 1948 dalam pidatonya yang berjudul “Mendayung Diantara Dua Karang” di hadapan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Menurut Hatta, ‘bebas’ memiliki arti mampu menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun. Sedangkan ‘aktif’ memiliki arti menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa. Lebih lanjut, menurut Mochtar Kusumaatmadja, prinsip ‘bebas’ memiliki arti bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Sedangkan ‘aktif’, berarti bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasional, melainkan bersifat aktif. Prinsip ini kemudian menjadi pedoman baku bagi pelaksanaan polugri Indonesia.
Prinsip “bebas aktif” ini sangatlah tepat dalam merespon situasi politik dunia saat itu dimana dunia pasca Pasca Perang Dunia II diwarnai oleh bipolaritas antara Blok Barat (kapitalisme) dan Blok Timur (komunisme). Sebagai negara yang belum lama merasakan nikmatnya kemerdekaan, Indonesia tidak ingin masuk ke dalam salah satu dari kedua blok yang merepresentasikan kepentingan masing-masing tersebut. Prinsip “bebas aktif” yang sesungguhnya dijiwai oleh Pancasila ini telah berperan besar dalam menentukan posisi Indonesia dalam kancah politik internasional. Pancasila tidaklah sama dengan paham kapitalisme yang dianut Blok Barat dimana nilai-nilai individualism dan kebebasan menjadi episentrum pemahamannya. Namun demikian, Pancasila juga tidak serta-merta identik dengan komunisme dimana lebih mementingkan kolektifitas dengan mengeliminasi hak-hak individu secara keseluruhan. Pancasila merupakan sesuatu yang khas dan merupakan representasi kepribadian bangsa Indonesia yang luhur sehingga hal ini mengilhami pengambilan keputusan untuk tidak memihak kepada salah satu blok karena kedua paham mainstream tersebut dirasakan tidak sesuai kepribadian bangsa.
Namun demikian, netralitas ini tidak serta-merta membuat Indonesia berpangku tangan dan tidak mengambil peranan aktif dalam upaya mewujudkan tatanan dunia yang lebih baik. Sebaliknya, Indonesia justru mampu memainkan peranannya dengan menjadi inisiator diselenggarakannya Konferesi Asia Afrika (KAA) pada tahun 1955 di Bandung, Jawa Barat. Penyelenggaraan KAA yang hampir seluruh pesertanya merupakan negara-negara baru merdeka ini merupakan bentuk nyata realisasi tujuan polugri Indonesia yang mendukung kemerdekaan serta menolak penjajahan di muka bumi. Disini dapat kita cermati bahwa tidak memihaknya Indonesia dalam blok-blok yang ada menunjukkan bahwa Indonesia ingin tetap menjadi subjek dan bukan objek di dalam tatanan sistem internasional yang berkembang.
Penerapan prinsip “bebas aktif” ini dijalankan secara dinamis tergantung periode pemerintahan yang berkuasa. Dinamisasi paling mencolok dalam penerapan prinsip ini dapat dilihat pada dua periode pemerintahan yang berbeda, yakni Orde Lama dan Orde Baru. Keduanya hidup dalam masa dimana tatanan sistem internasional diwarnai oleh bipolaritas akibat Cold War yang terjadi, namun keduanya memiliki cara yang berbeda dalam merespon situasi tersebut.
Pada masa Orde Lama (1945-1965), polugri “bebas aktif” dilakukan dengan jalan revolusioner. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan pemerintah yang cukup keras, seperti menolak adanya negara Malaysia, keluarnya Indonesia dari keanggotaan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 7 Januari 1965 serta menolak tawaran bantuan dari Barat. Pemerintah menganggap ketiga hal tersebut merupakan alat imperialism yang akan mengancam kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Kebijakan ini mencerminkan bahwa polugri yang dilaksanakan pemerintah pada saat itu terkonsentrasi pada aspek-aspek yang bersifat politik dan pemagaran kedaulatan dalam arti sebenarnya.
Sebaliknya, kebijakan yang lebih akomodatif dari penerapan prinsip “bebas aktif” ini dapat kita lihat pada masa Orde Baru (1966-1998). Hal ini dapat dilihat dalam beberapa kebijakan, diantaranya kembalinya Indonesia di dalam keanggotaan PBB pada 28 Desember 1966 serta lebih terbuka terhadap kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya Barat. Kerjasama yang dibangun menitikberatkan pada upaya pembangunan ekonomi Indonesia yang dirasa sangat penting. Pada masa ini, polugri Indonesia difokuskan untuk perbaikan perekonomian nasional yang pada masa sebelumnya dirasa cukup ditinggalkan. Salah satu hasilnya ialah terselenggaranya Asia Pacific Economic Forum (APEC) tahun 1993 di Bogor, Jawa Barat. Perhelatan yang bertujuan untuk peningkatan kerjasama ekonomi dan investasi ini kemudian menghasilkan “Bogor Goals” sebagai kesepakatan bersama.
Penerapan prinsip polugri “bebas aktif” yang dinamis juga dapat ditemui pada masa pasca Orde Baru, yakni masa Reformasi (1998-sekarang). Berakhirnya Cold War pada awal dekade 1990-an juga turut membawa dampak pada perubahan tatanan internasional. Pola bipolarisme yang sebelumnya terbentuk pada masa Cold War telah berubah wajah menjadi multipolarisme. Sejalan dengan itu, terdapat sebuah isu baru yang hampir selalu menjadi trending topic di seluruh belahan dunia tidak terkecuali Indonesia, yakni demokratisasi. Seiring dengan mulai terbangunnya kepercayaan akan demokrasi pada masa reformasi ini, maka para perumus kebijakan di dalam negeri pun mengarahkan segenap arah polugri kita dengan maksud memperkuat peranan Indonesia sebagai negara demokrasi di mata dunia internasional. Sebagai realisasinya, sejak tahun 2008 Indonesia berhasil melaksanakan sebuah pertemuan bertajuk “Bali Democracy Forum” yang telah menjadi agenda tahunan hingga kini. Forum ini berfokus pada kerjasama dalam pengembangan serta penguatan demokrasi negara-negara di kawasan Asia.
Penguatan kerjasama dalam aspek demokrasi ini juga tetap diiringi dengan penguatan kerjasama di bidang lain, utamanya ekonomi. Multipolarisme telah membuat setiap negara saling terhubung (interconnected) satu sama lain sehingga menciptakan suatu interdependensi di bidang perekonomian. Semakin berkembangnya liberalisasi perekonomian dan perdagangan membuat pemerintah harus mencarikan jalan terbaik agar tidak menerima mentah-mentah liberalisasi ini yang akan mengakibatkan tergerusnya Indonesia dalam arus besar ini tanpa meraih national interest yang diinginkan.
Sejatinya, beragam perubahan situasi yang terjadi pada sistem internasional telah mampu dijawab melalui kebijakan-kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah di berbagai periode dengan baik sehingga tetap menempatkan Indonesia sebagai aktor penting dalam pergaulan internasional. Hal ini tidak terlepas dari landasan yang menjadi pijakan utama pengambilan kebijakan tersebut, yakni Pancasila. Pancasila memiliki tempat yang sangat penting dalam menjaga agar arah polugri Indonesia tetap on the track sesuai dengan cita-cita dan tujuan nasional. Tetap eksisnya peranan Indonesia di kancah internasional hingga kini merupakan bukti nyata bahwa Pancasila mampu melewati segala rintangan yang dihasilkan dari beragam situasi internasional yang ada. Pancasila bukanlah sesuatu yang eksklusif dan kaku untuk diterapkan. Sebaliknya, Pancasila bersifat dinamis dan dapat diterapkan dalam menghadapi tantangan global yang ada. Sudah selayaknya, segenap rakyat Indonesia menjadikan Pancasila sebagai landasan dalam hidup berbangsa dan bernegara sehingga kita tetap dapat memperlihatkan ciri khas bangsa dengan bangga kepada seluruh masyarakat dunia. Seperti sebuah kalimat, “think globally

Partai Politik dan Aspirasi Rakyat


Banyak diantara kita yang mungkin sudah sampai pada titik jenuh saat mendengar kata “partai politik” (parpol). Situasi ini dapat dimengerti karena memang masyarakat seringkali mendapatkan citra negatif mengenai parpol, khususnya melalui kader-kader mereka yang duduk sebagai anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berbagai kasus, seperti korupsi berbagai proyek besar, serta secara beramai-ramai dianggap menghambur-hamburkan uang rakyat dengan dalih studi banding ke luar negeri seolah-olah menjadi citra negatif yang melekat pada diri mereka. Ditambah sering ditemukannya sebuah paradoks mengenai gaya hidup mewah para anggota DPR yang justru berbanding terbalik dengan kondisi mayoritas masyarakat. Berbagai hal negatif tersebut membuat geram berbagai kalangan masyarakat sehingga berdampak pada memudarnya kepercayaan mereka terhadap parpol maupun anggota DPR karena dianggap tidak lagi bekerja untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang telah memilih mereka saat pemilu, melainkan hanya demi kepentingan pribadi maupun golongan.
Sesungguhnya di dalam hubungannya dengan masyarakat, parpol memiliki dua fungsi dan peranan utama, yakni sebagai wadah komunikasi politik serta sosialisasi politik. Sebagai wadah komunikasi politik, parpol harus mampu berperan sebagai sarana untuk menampung aspirasi masyarakat. Aspirasi tersebut kemudian dijadikan sebuah rumusan dalam menyusun program kerja parpol untuk kemudian diartikulasikan ke dalam policy pada level lembaga pemerintahan formal. Permasalahannya ialah fungsi ini belum dapat dimksimalkan secara sempurna oleh mayoritas parpol. Mereka tidak mampu menampung dan mengartikulasikan aspirasi rakyat ini secara baik karena terjebak dalam pragmatisme politik. Seringkali kita jumpai parpol hanya “datang” untuk mendengar aspirasi masyarakat pada saat menjelang pemilu. Pada saat itulah biasanya parpol-parpol saling berebut simpati masyarakat dengan menawarkan janji-janji politiknya demi mendulang suara. Pasca berakhirnya pemilu, jarang sekali kita menemukan parpol yang tetap keep in touch dengan masyarakat melalui program-program yang langsung bersentuhan dengan kondisi realitas masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa mereka hanya menjadikan masyarakat sebagai alat untuk memenuhi kepentingan sesaat guna meraup suara dalam pemilu. Akibatnya, aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada parpol tidak mendapat tindak lanjut yang jelas dan seolah-olah menguap begitu saja. Oleh karenanya, jangan heran jika setiap hari kita melihat berbagai elemen masyarakat secara bergiliran melakukan demonstrasi di depan gedung DPR guna menyuarakan aspirasi mereka secara langsung.
Sebagai wadah sosialisasi politik, parpol semestinya mampu untuk mengarahkan kader-kadernya dalam bersikap sebagaimana mestinya. Peranan parpol dalam hal ini sangat penting untuk menyadarkan kadernya mengenai tujuan dibentuknya parpol. Sebagaimana semestinya tujuan pembentukan parpol di negara demokrasi, yakni untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Parpol diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai kepentingan nasional tersebut kepada diri setiap kadernya sehingga sikap mereka tidak keluar dari tujuan yang telah ditetapkan. Sayangnya, hal ini juga belum mampu dilakukan dengan baik oleh parpol sehingga seringkali masih mengutamakan kepentingan pribadi maupun golongan dibanding kepentingan nasional. Akibatnya, kita dapat melihat banyak kader parpol yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat di dalam berbagai kasus korupsi. Tindakan ini pada hakikatnya telah mengkhianati amanah dan aspirasi masyarakat, sebab uang hasil korupsi mereka sesungguhnya merupakan uang rakyat.
Lebih jauh, parpol juga harus menerapkan punishment yang tegas bagi setiap kader yang melakukan penyimpangan. Langkah tegas tersebut dapat dimulai dari skala paling ringan berupa teguran hingga paling berat, yakni pemecatan. Parpol juga diharapkan tidak melindungi serta membela kadernya yang bermasalah. Hal-hal diatas penting untuk dilakukan guna mengembalikkan citra positif parpol di mata masyarakat. Adanya ketegasan tersebut menujukkan parpol dapat menjadi sebuah wadah serta sarana politik yang tepat untuk membela kepentingan rakyat, bukan semata-mata kepentingan golongan.
Sebagai sebuah negara yang telah memilih demokrasi sebagai sistemnya, maka kehadiran parpol di Indonesia sesungguhnya merupakan suatu keniscayaan. Adanya parpol di dalam sebuah negara demokrasi menunjukkan terpenuhinya asas kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang di dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi “Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Parpol merupakan pengejawantahan atas asas kedaulatan rakyat ini karena sesungguhnya secara konstitusional merekalah yang memilki hak untuk menempatkan kader-kadernya di parlemen sebagai wakil rakyat. Para wakil rakyat inilah yang kemudian dibebani tugas untuk membawa aspirasi masyarakat untuk diperjuangkan.
Kehadiran parpol juga merupakan jaminan terhadap penegakan salah satu bagian penting dari Hak Asasi Manusia (HAM), yakni hak-hak politik warga negara. Jaminan hak ini pun dipertegas di dalam pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Hal ini dikarenakan inisiatif berdirinya sebuah parpol berasal dari sekumpulan masyarakat dengan kesamaan ide serta pandangan politik sehingga kehadiran parpol yang sejatinya berasal dari grass root ini dianggap sebagai wujud pelaksanaan pasal 28 tersebut.
Parpol juga merupakan salah satu pilar penting di dalam demokrasi karena hidupnya parpol menunjukkan adanya partisipasi politik masyarakat secara luas sebagaimana prasyarat hidupnya sebuah demokrasi. Demokrasi mensyaratkan adanya suatu partisipasi politik masyarakat di dalam sebuah pemilu yang bebas. Masyarakat diharapkan dapat memilih wakil-wakil yang mereka kehendaki untuk memperjuangkan aspirasinya di parlemen.
Oleh karena itu, sepatutnya parpol segera berbenah diri guna mengembalikkan citra negatif yang dialamatkan masyarakat terhadap mereka. Jangan sampai kekecewaan masyarakat terhadap parpol ini semakin terakumulasi dan berubah pada desakan pembubaran parpol karena sejatinya posisi parpol sangatlah strategis di dalam sistem politik domestik selain juga merupakan cerminan positif dari perkembangan demokrasi di negeri kita.