26 Maret 2010, sebuah kapal selam milik Korea Selatan (Korsel) yang bernama Cheonam ditorpedo oleh pihak yang dituduh Korsel adalah Korea Utara (Korut). Tuduhan ini semakin mendekati kenyataan setelah tim investigasi yang beranggotakan dari beberapa negara melakukan penyelidikan atas kasus ini. Hasil dari penyelidikan tersebut menyatakan bahwa memang benar kapal Korut yang menembak Cheonam.
Pasca insiden ini, hubungan antara keduanya yang memang pasang surut kembali memanas. Korsel mengatakan akan mengambil tindakan kepada Korut atas insiden ini. Entah apa yang dimaksud Korsel dengan tindakan itu, apakah dengan pengerahan daya paksanya atau hanya dengan soft power. Namun yang jelas, bukan hanya kali ini saja kedua Korea ini berseteru. Jika kita menilik ke belakang, ternyata perseteruan yang terjadi dewasa ini berkorelasi dengan sejarah antara keduanya yang memang dipenuhi konflik. Dimulai sejak awal berdirinya kedua negara dan mencapai puncaknya pada tahun 1950, yakni saat meletusnya Perang Korea (1950-1953). Perang yang sebenarnya adalah merupakan “Proxy War” kepentingan Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina waktu itu telah menimbulkan korban pada dua bersaudara Korea ini. Perang ini kemudian dihentikan pada 27 Juli 1953 dengan adanya perjanjian gencatan senjata. Adanya gencatan senjata ini tidak serta –merta menghentikan pertikaian kedua negara sepenuhnya. Perdamaian yang dicapai dalam gencatan senjata hanyalah perdamaian sementara sampai batas waktu tertentu. Lagipula saat itu, Presiden Korsel Seungman Rhee menolak untuk menandatangani gencatan senjata tersebut, ia hanya berjanji untuk menghormatinya. Adapun negara yang menandatangani perjanjian tersebut adalah Korut, AS dan Cina yang merupakan sekutu utama Korut. Jadi jelaslah bahwa perpertual peace diantara kedua Korea ini belum terwujud, yang ada hingga hari ini hanya perdamaian semu yang setiap saat bisa saja meledak kembali.
Tanda-tanda akan terjadinya kembali Perang Korea jilid II nampaknya mulai nampak. Kepemilikan nuklir oleh Korut membuat persepsi ancaman Korsel terhadap Korut meningkat. Korsel khawatir dengan stabilitas kawasan karena ada dua sekutu yang mempunyai nuklir, yakni Korut dan Cina. Ditambah lagi dengan fakta bahwa keduanya juga merupakan sekutu dengan kesamaan ideologi komunis.
Kekhawatiran dan kegeraman Korsel ini makin menjadi setelah kapal selamnya, Cheonam ditorpedo oleh Korut. Pasca insiden ini, Korsel bersama sekutunya, AS segera mengeluarkan kecaman dan menuntut Korut meminta maaf. Namun Korut menolaknya. Maka dengan segera kedua sekutu ini bersiaga untuk menghadapi ancaman Korut dengan mengadakan latihan bersama yang mereka namakan “Invincible Spirit” sejak tanggal 25 Juli 2010 selama 4 hari. Korut balas mengancam latihan militer bersama tersebut. Namun pertanyaannya kini adalah, apakah aksi saling ancam ini akan menjadi sebuah fakta di lapangan dengan terjadinya perang fisik atau hanya perang urat syaraf saja saja? Koh Yu-hwan, seorang profesor di Universitas Dongguk Seoul, mengatakan pernyataan Korea Utara itu sebagai retorika. Penulis juga sependapat dengan professor tersebut. Ada beberapa alasan bagi penulis untuk menyebut tidak akan terjadi “perang terbuka” antara kedua Korea.
Pertama, jika terjadi perang, bukan hanya kedua Korea yang terlibat, namun juga para sekutu masing-masing. Utamanya untuk AS & Cina, kedua negara ini akan sangat merugi karena perang berarti mereka harus membantu salah satu dari dua Korea tersebut. Sektor keuangan AS yang belum pulih sepenuhnya pasca krisis subprime mortgage 2008 silam akan kembali terkena dampak negatif jika harus mengeluarkan dana jutaan dollar guna membantu Korsel. Pun demikian dengan Cina yang mau tak mau harus membantu Korut jika negara tersebut diserang karena sedah terikat “pakta persahabatan” pada 1961 silam. Ini akan berdampak buruk bagi citra dan perekonomian Cina kedepan. Cina yang kini sedang menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat harus mengeluarkan dana & tenaga guna membantu Korut, yang mungkin akan mengganggu perekonomiannya. Belum lagi hubungan bilateral antara AS & Cina yang pastinya akan terkena dampak negatif jika Perang Korea jilid II ini terjadi. Hubungan yang memang sudah sering terganggu dengan isu-isu sensitif, seperti isu Tibet dan Taiwan ini akan menjadi semakin buruk.
Kedua, jika Korsel benar-benar menyerang Korut, penulis melihat itu seperti tindakan bunuh diri. Mengapa? Korsel mempunyai cukup banyak investasi di Korut yang nilainya jutaan dollar AS. Mulai dari sektor pariwisata di Gunung Geumgang hingga sektor manufaktur. Yang terakhir, Korsel sedang membangun sebuah investasi yang sangat besar berupa kawasan industri di Gaeseong Industrial Zone. Diperkirakan proyek ini baru akan selesai tahun 2012. Bayangkan berapa kerugian Korsel jika perang terbuka benar-benar terjadi. Investasi yang dibangun Korsel dalam sekejap akan hancur jika perang terjadi. Belum lagi investor asing yang menanamkan investasinya di Korsel itu sendiri yang akan menarik investasinya dari Korsel jika perang berkobar. Mereka tentu tidak ingin menderita kerugian akibat tidak stabilnya kondisi keamanan Korsel. Tentu ini merupakan kerugian ekonomi yang luar biasa. Melihat fakta tersebut, tentu para think-tank Korsel akan berpikir ratusan kali sebelum membuat keputusan perang.
Ketiga, jika perang terjadi tentu akan mengganggu rencana unifikasi dan perdamaian permanen antara kedua Korea. Rencana unifikasi tersebut sudah dirancang sejak tahun 2000 dengan diadakannya KTT untuk pertama kalinya antara Korut-Korsel di Pyongyang. Kedua negara berkomitmen untuk menuntaskan masalah unifikasi secara mandiri. Sementara pengupayaan perdamaian permanen antara keduanya sudah dimulai tahun 2007 dengan diadakannya pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-Il dan Presiden Korea Selatan Roh Moo-Hyun pada 04 Oktober 2007.
Perang merupakan opsi terakhir dan paling akhir dalam menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang berseteru. Perang adalah sesuatu yang mahal dan pasti akan menimbulkan kerugian, baik material maupun immaterial bagi pihak yang terlibat. Oleh karenanya, yang selalu harus dikedepankan dalam menanggapi masalah seperti ini adalah dengan jalur soft power, yakni diplomasi. Jikalau diplomasi vis a vis antara dua Korea gagal, hendaknya dipilih pihak ketiga yang netral dalam menangani masalah ini.
Pasca insiden ini, hubungan antara keduanya yang memang pasang surut kembali memanas. Korsel mengatakan akan mengambil tindakan kepada Korut atas insiden ini. Entah apa yang dimaksud Korsel dengan tindakan itu, apakah dengan pengerahan daya paksanya atau hanya dengan soft power. Namun yang jelas, bukan hanya kali ini saja kedua Korea ini berseteru. Jika kita menilik ke belakang, ternyata perseteruan yang terjadi dewasa ini berkorelasi dengan sejarah antara keduanya yang memang dipenuhi konflik. Dimulai sejak awal berdirinya kedua negara dan mencapai puncaknya pada tahun 1950, yakni saat meletusnya Perang Korea (1950-1953). Perang yang sebenarnya adalah merupakan “Proxy War” kepentingan Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina waktu itu telah menimbulkan korban pada dua bersaudara Korea ini. Perang ini kemudian dihentikan pada 27 Juli 1953 dengan adanya perjanjian gencatan senjata. Adanya gencatan senjata ini tidak serta –merta menghentikan pertikaian kedua negara sepenuhnya. Perdamaian yang dicapai dalam gencatan senjata hanyalah perdamaian sementara sampai batas waktu tertentu. Lagipula saat itu, Presiden Korsel Seungman Rhee menolak untuk menandatangani gencatan senjata tersebut, ia hanya berjanji untuk menghormatinya. Adapun negara yang menandatangani perjanjian tersebut adalah Korut, AS dan Cina yang merupakan sekutu utama Korut. Jadi jelaslah bahwa perpertual peace diantara kedua Korea ini belum terwujud, yang ada hingga hari ini hanya perdamaian semu yang setiap saat bisa saja meledak kembali.
Tanda-tanda akan terjadinya kembali Perang Korea jilid II nampaknya mulai nampak. Kepemilikan nuklir oleh Korut membuat persepsi ancaman Korsel terhadap Korut meningkat. Korsel khawatir dengan stabilitas kawasan karena ada dua sekutu yang mempunyai nuklir, yakni Korut dan Cina. Ditambah lagi dengan fakta bahwa keduanya juga merupakan sekutu dengan kesamaan ideologi komunis.
Kekhawatiran dan kegeraman Korsel ini makin menjadi setelah kapal selamnya, Cheonam ditorpedo oleh Korut. Pasca insiden ini, Korsel bersama sekutunya, AS segera mengeluarkan kecaman dan menuntut Korut meminta maaf. Namun Korut menolaknya. Maka dengan segera kedua sekutu ini bersiaga untuk menghadapi ancaman Korut dengan mengadakan latihan bersama yang mereka namakan “Invincible Spirit” sejak tanggal 25 Juli 2010 selama 4 hari. Korut balas mengancam latihan militer bersama tersebut. Namun pertanyaannya kini adalah, apakah aksi saling ancam ini akan menjadi sebuah fakta di lapangan dengan terjadinya perang fisik atau hanya perang urat syaraf saja saja? Koh Yu-hwan, seorang profesor di Universitas Dongguk Seoul, mengatakan pernyataan Korea Utara itu sebagai retorika. Penulis juga sependapat dengan professor tersebut. Ada beberapa alasan bagi penulis untuk menyebut tidak akan terjadi “perang terbuka” antara kedua Korea.
Pertama, jika terjadi perang, bukan hanya kedua Korea yang terlibat, namun juga para sekutu masing-masing. Utamanya untuk AS & Cina, kedua negara ini akan sangat merugi karena perang berarti mereka harus membantu salah satu dari dua Korea tersebut. Sektor keuangan AS yang belum pulih sepenuhnya pasca krisis subprime mortgage 2008 silam akan kembali terkena dampak negatif jika harus mengeluarkan dana jutaan dollar guna membantu Korsel. Pun demikian dengan Cina yang mau tak mau harus membantu Korut jika negara tersebut diserang karena sedah terikat “pakta persahabatan” pada 1961 silam. Ini akan berdampak buruk bagi citra dan perekonomian Cina kedepan. Cina yang kini sedang menikmati pertumbuhan ekonomi yang pesat harus mengeluarkan dana & tenaga guna membantu Korut, yang mungkin akan mengganggu perekonomiannya. Belum lagi hubungan bilateral antara AS & Cina yang pastinya akan terkena dampak negatif jika Perang Korea jilid II ini terjadi. Hubungan yang memang sudah sering terganggu dengan isu-isu sensitif, seperti isu Tibet dan Taiwan ini akan menjadi semakin buruk.
Kedua, jika Korsel benar-benar menyerang Korut, penulis melihat itu seperti tindakan bunuh diri. Mengapa? Korsel mempunyai cukup banyak investasi di Korut yang nilainya jutaan dollar AS. Mulai dari sektor pariwisata di Gunung Geumgang hingga sektor manufaktur. Yang terakhir, Korsel sedang membangun sebuah investasi yang sangat besar berupa kawasan industri di Gaeseong Industrial Zone. Diperkirakan proyek ini baru akan selesai tahun 2012. Bayangkan berapa kerugian Korsel jika perang terbuka benar-benar terjadi. Investasi yang dibangun Korsel dalam sekejap akan hancur jika perang terjadi. Belum lagi investor asing yang menanamkan investasinya di Korsel itu sendiri yang akan menarik investasinya dari Korsel jika perang berkobar. Mereka tentu tidak ingin menderita kerugian akibat tidak stabilnya kondisi keamanan Korsel. Tentu ini merupakan kerugian ekonomi yang luar biasa. Melihat fakta tersebut, tentu para think-tank Korsel akan berpikir ratusan kali sebelum membuat keputusan perang.
Ketiga, jika perang terjadi tentu akan mengganggu rencana unifikasi dan perdamaian permanen antara kedua Korea. Rencana unifikasi tersebut sudah dirancang sejak tahun 2000 dengan diadakannya KTT untuk pertama kalinya antara Korut-Korsel di Pyongyang. Kedua negara berkomitmen untuk menuntaskan masalah unifikasi secara mandiri. Sementara pengupayaan perdamaian permanen antara keduanya sudah dimulai tahun 2007 dengan diadakannya pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-Il dan Presiden Korea Selatan Roh Moo-Hyun pada 04 Oktober 2007.
Perang merupakan opsi terakhir dan paling akhir dalam menyelesaikan sengketa antara pihak-pihak yang berseteru. Perang adalah sesuatu yang mahal dan pasti akan menimbulkan kerugian, baik material maupun immaterial bagi pihak yang terlibat. Oleh karenanya, yang selalu harus dikedepankan dalam menanggapi masalah seperti ini adalah dengan jalur soft power, yakni diplomasi. Jikalau diplomasi vis a vis antara dua Korea gagal, hendaknya dipilih pihak ketiga yang netral dalam menangani masalah ini.
No comments:
Post a Comment