Sunday, 5 May 2013

Konsolidasi Otonomi Daerah Dalam Upaya Pembangunan Ekonomi Masyarakat

Era Reformasi yang ditandai dengan jatuhnya rezim Orde baru (1998) memunculkan suatu agenda perubahan yang penting di dalam bidang pemerintahan, yakni pelaksanaan (kembali) otonomi daerah. Mencuatnya agenda ini di latarbelakangi oleh adanya sebuah kekecewaan atas sistem pemerintahan sebelumnya pada masa Orde Baru yang cenderung dijalankan secara terpusat (sentralistik). Padahal sejatinya, landasan bagi pelaksanaan otonomi daerah sudah ada pada masa itu, yang tertuang pada UU Nomor 5/1974. Namun, pada realisasinya otonomi daerah cenderung hanya dilaksanakan demi kepentingan rezim semata. Keberadaan pejabat-pejabat daerah mulai dari tingkat Gubernur, Bupati hingga Walikota hanya sebagai rubber stamp bagi kepentingan pemerintah pusat. Sentralisasi pemerintahan pada saat itu membuat seluruh rencana pembangunan di berbagai wilayah terkesan dipaksakan oleh pemerintah pusat tanpa memperhatikan kebutuhan yang berbeda di tiap-tiap daerah. Lebih dari itu, sentralisasi kekuasaan juga memicu terjadinya korupsi yang dilakukan oleh rezim penguasa. Hal inilah yang kemudian coba dikoreksi oleh para ilmuwan dan pakar pemerintahan pada berbagai kesempatan terkait pelaksanaan otonomi daerah pada era reformasi.
Konsep awal otonomi daerah muncul pada tahun 1903 melalui undangundang desentralisasi di bawah pemerintah kolonial Belanda yang diperluas dengan Bestuursher Vormingswet 1922 yang mana otonomi dititikberatkan pada dekonsentrasi, desentralisasi dan tugas pembantuan.[1] Menurut UU Nomor 32/2004 yang juga menjadi landasan hukum pelaksanaan otonomi daerah pada era reformasi ini, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Merujuk pada definisi tertulis di dalam UU Nomor 32/2004 tersebut, menurut Prof. Dr. Ryaas Rasyid, MA otonomi daerah bertujuan untuk mengurangi beban berat pembangunan yang dipikul pemerintah pusat. Otonomi memberikan peran dan tanggung jawab kepada daerah untuk meningkatkan partisipasinya dalam pembangunan.[2] Pemerintah pusat tidak perlu lagi memikirkan detail model pembangunan seperti apa yang harus dilakukan di setiap daerah karena tugas tersebut sudah dilimpahkan ke pemerintah daerah masing-masing. Diharapkan dengan pemberlakuan otonomi daerah semacam ini, masyarakat dapat lebih berpartisipasi aktif dan memiliki rasa tanggung jawab dalam upaya serta proses pembangunan di berbagai bidang pada wilayahnya masing-masing.
Lebih jauh, visi otonomi daerah menurut Ryaas Rasyid (2007 : 9) dapat dirumuskan dalam 3 ruang lingkup interaksinya yang utama, yaitu ekonomi, politik serta sosial budaya.[3]
1.      Visi otonomi daerah di bidang Ekonomi
Otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di lain pihak, terbukanya peluang bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan potensi ekonomi di daerahnya, sehingga otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
2.      Visi otonomi daerah di bidang Politik
Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
3.      Visi otonomi daerah di bidang Sosial Budaya
Otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang bersifat kondusif terhadap kemampuan masyarakat dalam merespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
            Salah satu visi yang dikemukakan di atas terkait dengan pembangunan perekonomian daerah secara normatif merupakan cita-cita yang sangat ideal. Keinginan luhur untuk mengeksplorasi berbagai ciri khas dan potensi ekonomi yang dimiliki tiap-tiap daerah merupakan hal yang sangat relevan guna mencapai tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar dalam merancang strategi pembangunan ekonomi di daerahnya masing-masing dengan tetap bereferensi pada potensi sumber daya ekonomi di daerah tersebut. Sebagai contoh, sebuah wilayah dengan potensi kelautan yang besar akan dapat membangun basis perekonomian mereka berdasarkan potensi kelautan yang mereka miliki tersebut. Pemerintah daerah bersama masyarakat setempatlah yang kemudian memiliki otoritas untuk menyusun strategi pembangunan perekonoman tersebut.
Otonomi daerah dalam bidang ekonomi juga tidak dapat dilepaskan dari penggunaan anggaran, baik itu yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sesuai data yang disajikan pemerintah dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, di Jakarta, Rabu (19/9), pada 2012 dana transfer ke daerah adalah sebesar Rp 470,4 triliun atau sebesar 32,8 persen dari keseluruhan APBN 2012.[4] Jumlah ini meningkat dibandingkan tahun 2011 yang berjumlah Rp 334,322 triliun.[5] Kecenderungan semakin meningkatnya anggaran bagi pelaksanaan otonomi daerah yang dialokasikan pemerintah pusat seyogyanya diikuti dengan efektivitas penggunaan anggaran di masing-masing daerah. Perencanaan alokasi anggaran yang matang di tiap-tiap daerah sangat diperlukan agar penyerapan anggaran dapat optimal serta memberikan pengaruh positif bagi peningkatan pembangunan ekonomi di daerah yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Realisasi guna mewujudkan visi ekonomi dari pelaksanaan otonomi daerah ini nyatanya tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan. Terdapat beberapa kendala bahkan penyimpangan dalam pengejawantahannya. Penggunaan anggaran yang tidak efektif menjadi salah satu kendala yang dihadapi. Menurut Ryaas Rasyid, sejumlah 80% dari anggaran yang dialokasikan untuk daerah digunakan untuk kepentingan operasional pemerintahan dan bukan untuk upaya pembangunan dan percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat.[6] Hal ini tentu tidaklah tepat karena mayoritas alokasi anggaran sejatinya digunakan guna mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang riil bagi masyarakat.
Lemahnya perencanaan pembangunan pemerintah daerah juga menjadi kendala yang berarti bagi pelaksanaan visi di bidang ekonomi otonomi daerah ini. Paling tidak dapat diidentifikasi dua persoalan utama dalam kasus ini, yaitu; persoalan non teknis dan persoalan teknis. Di antara persoalan non teknis perencanaan adalah lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan, keterbatasan data dari masing-masing SKPD, lemahnya kapasitas sumberdaya perencana di daerah. Sedangkan persoalan teknis perencanaan di antaranya adalah lemahnya konsistensi antara visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, kebijakan, program dan kegiatan, tidak jelasnya indikator sasaran untuk masing-masing program dan kegiatan. Beberapa persoalan tersebut apabila tidak dicarikan solusi alternatif yang tepat dikhawatirkan akan dapat menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas pembangunan di daerah.[7] Kelemahan perencanaan ini telah menjadi salah satu pemicu tidak efektifnya penggunaan anggaran yang dialokasikan untuk otonomi derah tersebut.
Hal ini diperparah oleh perilaku korup yang menjangkiti sebagian pemangku kebijakan di berbagai tingkatan daerah, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota. Indonesia Corruption Watch (ICW) telah mempublikasikan bahwa 285 kasus korupsi terjadi di tingkat pusat maupun daerah pada periode 1 Januari hingga 31 Juli 2012. Terdapat 597 orang dijadikan tersangka oleh penegak hukum. Selain itu, dari laporan tahunan KPK tahun 2011, tercatat ada 29 kasus yang melibatkan kepala daerah dan 8 gubernur. Statistik ini juga didukung oleh data yang dipublikasikan Mendagri pada Mei 2012: terdapat sekitar 173 kepala daerah yang tersangkut kasus hukum. Dengan kata lain, sepertiga kepala daerah di Indonesia bermasalah.[8] Ini baru korupsi yang dilakukan oleh Kepala Daerah, belum termasuk “kroni-kroni” di jajarannya yang kemungkinan besar mengetahui serta terkait dengan tindak pidana tersebut. Korupsi yang menjangkiti para pejabat di daerah ini berdampak serius pada bocornya anggaran yang seyogyanya digunakan untuk kepentingan rakyat banyak. Padahal sejatinya, salah satu maksud dan tujuan desentralisasi yang diterapkan melalui otonomi daerah ini adalah untuk meminimalisir bahkan mencegah terjadinya tindak korupsi yang marak terjadi pada era sebelumnya akibat sentralisasi kekuasaan di tingkat pusat. Nyatanya, perubahan sistem ini belum lah cukup efektif untuk melakukan hal tersebut.



[2] Disampaikan oleh  Prof Dr Ryaas Rasyid pada acara Lokakarya Desentralisasi Pendidikan yang diselenggarakan Balitbang Kemdikbud, Selasa (29/11/11).
[3] Dikutip oleh Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MM dalam buku Desentralisasi dan Otonomi Daerah (2005 : 61), LIPI Press, Jakarta, 2005.